Fenomena Selfie Bagi Seluruh Kalangan
Fenomena Selfie merupakan salah satu fenomena paling booming tahun 2013. Pasti salah satu dari Anda sering melakukan hal ini. Oxford Dictionaries pun menasbihkannya sebagai Word of the Year. “If it is good enough for the Obamas or The Pope, then it is good enough for Word of the Year”, begitu yang ditulis di situs resmi Oxford Dictionaries menyoal Selfie sebagai Word of the Year. Memang, foto narsis oleh Barrack Obama hingga Paus Francis beberapa waktu lalu sempat mendongkrak kepopuleran “Selfie”.
Apa itu selfie? Selfie adalah foto hasil memotret diri sendiri, biasanya
dengan smartphone atau webcam, lalu di-upload ke sosial media.
Selfie sesungguhnya bukan hal baru. Foto oleh Robert Cornelius
tahun 1839, diyakini sebagai Selfie pertama di dunia. Foto tersebut kini
ditempatkan di Library of Congress, Washington. Di Indonesia sendiri,
kita telah sering melihat foto-foto selfie sejak facebook mulai banyak
dipakai. Tentu Anda juga sering melihat dan melakukannya, foto orang berpose
“Duckface”, alias memonyong-monyongkankan bibir agar terlihat
seksi.
Tapi Mengapa Orang Suka Foto Selfie?
Dr Pamela Rutledge, Psikolog asal Boston mengungkapkan bahwa dalam
Selfie: “We see ourselves alive and dynamic, a person in progress.”. Gambar memang mengungkapkan sejuta cerita. Daripada menulis
status “berangkat kerja”, lebih dinamis untuk memotret diri ketika
hendak berangkat kerja, bukan? Begitu kira-kira motivasinya. Lalu ketika
foto tersebut di-upload, ada yang memberikan “like”, atau
komentar-komentar positif, itu merupakan mood booster juga, bukan?
Dr Rutledge juga menjelaskan, manusia pada dasarnya suka mencoba
identitas-identitas baru, dan Selfie mengakomodasi kesenangan tersebut. "Selfie tells other people how we want to be seen". Sebagaimana kita
sering menemukan seseorang yang gemar berfoto Selfie, sekali foto bisa
puluhan, tapi tidak semuanya di-publish, hanya beberapa foto yang ia
sukai saja. Sehingga tak jarang pula yang menuduh kaum Selfie sebagai
‘haus perhatian’.
Kemunculan Selfie mania ini juga tidak dapat dilepaskan dari
perkembangan teknologi. Bisa anda bayangkan repotnya berfoto Selfie bila
tidak ada kamera depan di smartphone? Bisa diakali pakai cermin, atau
nekat memotret dengan kamera belakang, tapi dengan kamera depan, jauh
lebih praktis dan mudah. Instagram, sosial media khusus fotografi
mencatat terdapat sedikitnya 23.000.000 foto dengan tag “Selfie”, dan 51.000.000 foto dengan tag “Me”.
Tidak ada yang salah dengan “Selfie”. Orang bebas melakukan apapun yang
ia suka, selama tidak melanggar hak orang lain. Namun demikian, tetap
ada masalah yang mungkin timbul. Misalnya, kepopuleran Selfie semakin
meningkat, apalagi Obama juga telah melakukannya. Kita tahu, politisi
kita kadang suka latah meniru strategi-strategi Obama yang konon tokcer.
Nah, saya akan merasa sangat terganggu apabila di kemudian hari
menemukan spanduk dan baliho politisi kita dengan model “Selfie”. Ampun,
membayangkannya saja sudah mual. (Saya harap politisi dan caleg-caleg
membaca hasil penelitian-penelitian iklan politik di Indonesia.
Kebanyakan masih berpendapat bahwa iklan di televisi masih merupakan
cara yang paling ampuh. Jadi tak perlu lah mengotori pemandangan dengan
spanduk-spanduk itu).
Masalah lain yang mungkin timbul, soal konsumerisme, bahwa tiba-tiba
anda merasa kamera handphone Anda sudah tidak mampu lagi, ukuran pixel-nya kurang besar , kurang tajam dan sebagainya, padahal ujung-ujungnya hanya untuk
memotret diri sendiri, di ruangan yang itu-itu saja.
Yang harus disadari terkait Selfie adalah Internet merupakan dunia maya
yang terus menerus berkembang. Perilaku penggunanya belum bisa ditebak
dengan jitu. Banyak orang jahil di dalamnya. Sekali anda meng-upload foto
ke Internet, sebaiknya anda relakan ketika ada yang mengambilnya,
menyimpannya, bahkan mengeditnya seenak jidat, untuk di-publish lagi.
Keisengan masyarakat maya sesungguhnya sulit dikontrol.
Juga wajib diingat bahwa secara kultur, kita masih sulit menerima orang
yang terlalu suka menonjolkan diri sendiri. Walaupun sepertinya kultur
di dunia maya bisa saja berbeda dengan realita keseharian.
0 komentar:
Posting Komentar